Halaman

Sabtu, 26 Maret 2011

HAMKA

RESENSI

Judul buku : Tenggelamnya kapal Van Der Wijeck.
Penulis : Hamka.
Penerbit : PT. Bulan Bintang.
Jakarta 1976.
Tebal : 232 halaman.
Harga : Rp. 4.500,-

Dalam karya ini terlihat kekuatan-kekuatan seorang pengarang yang ingin mengembangkan sesuatu yang biasa terjadi pada masyarakat. Sikapnya yang ingin mengolah ceritanya dengan penuh kedalangan dan kesungguhannya dalam menilai kehidupan ini merupakan salah satu yang pantas dipelihara dan dikembangkan.
Hal ini tampak pada jiwanya yang masih muda, yaitu berusia 31 tahun. Ia menulis sebuah karya dimana darah mudanya masih cepat mangalir dalam dirinya dan khayal serta sentimennya masih bergelora dalam jiwanya. Ia mengisahkan dengan penuh kedalaman dan kesungguhan. Untuk materi cerita ini melukiskan kisah cinta yang tak kesampaian dan berakhir dengan kematian. Cerita ini digubah sedemikian rupa sehingga menarik dan dijalin dengan mempergunakan bahasa sastra yang indah.
Tenggelamnya Van Der Wijeck ini mencerikan tentang dua muda-mudi yang menjalin cinta yang tak kesampaian disebabkan karena perbedan suku sehingga berakhir dengan kematian. Jalan ceritanya dilatar belakangi dengan peraturan-peraturan adat pusaka yang kokoh dan kuat dalam suatu negeri yang bersuku dan berlembaga, barkaum kerabat dan berninik mamak.
Cerita ini bermula dari kisah pertengkaran antara pendekar Sutan dengan mamaknya yaitu Datuk Mantari Labih yang memperebutkan warisan harta peninggaln ibunya. Akhirnya terjadi pembunuhan yang dilakukan pendekar Sutan terhadap Datuk Mantari Labih sehingga ia ditangkap dan dibuang ke Cilacap selama 12 tahun. Setelah ia bebas, ia tinggal di Mengkasar dan akhirnya kawin dengan Daeng Habibah dan memperoleh anak, dialah Zainuddin.
Tetapi setelah beberapa lama kemudian ibunya Zainuddin meninggal dunia dan kemudian ayahnya menyusul. Zainuddin dititipkan pada mamaknya yaitu Mak Base. Lama kelamaan Zainuddin ingin pergi ketanah airnya yaitu di Minagkabau dan ingin mengambil harta warisan ayahnya. Tetapi disana ia tidak dikenali oleh siapapun, sehingga ia menderita. Hanya seseorang perempuan muda yang mau mendengarkan ceritanya, menumpahkan segala persaannya dan dialah Hayati . Hayati adalah anak orang terpandang di Minagkabau.
Dia merupakan wanita idaman Zainuddin, dengan kelembutan hatinya yang membuat Zainuddin semakin mencintainya. Sedangkan mamak Hayati tidak merestui hubungan cinta antara Hayati dan Zainuddin. Hayati menuruti ucapan mamaknya untuk menerima pinagan dari Azis. Azis adalah kakak dari sahabat Hayati yang bernama Khodijah.
Pada suatu hari Hayati dijodohkan dengan Azis, kemudian mereka menikah. Dalam kehidupan rumah tangganya selama di Minagkabau mereka amat bahagia tetapi setelah mereka pindah ke Jawa, rumah tangganya menjadi berantakan. Setelah harta benda mereka habis Hayati dan Azis menumpang dirumah Zainuddin, setelah itu Azis pergi ke Jakarta dan kemudian ia bunuh diri disebuah hotel. Zainuddin sendiri tidak memaafkan kesalahan Hayati dimasa lalu, akhirnya Hayati disuruh pulang ke Padang dengan naik kapal.
Ditengah-tengah perjalanan kapal tersebut tenggelam, setelah Zainuddin mendengar berita tersebut langsung menuju ke Rumah Sakit, pada saat itu Hayati diselamatkan oleh penagkap ikan, sesampainya di Rumah Sakit seorang juru rawat memberi tahu tempat Hayati dirawat. Zainuddin menyesali kesalahannya setelah melihat selendang berlumuran darah yang bertuliskan namanya, beberapa saat kemudian Hayati sadar dan menyuruh Zainuddin untuk membaca dua kalimat syahadat, dan setelah tiga kali kalimat syahadat itu diucapkan oleh Zainuddin dia menghembuskan nafas terakhir.
Sepeninggalan Hayati Zainuddin menjadi sakit-sakitan, tidak lama kemudian Zainuddin meninggal dunia dan dimakamkan dekat pusara Hayati, dan untuk harta peninggalan Zainuddin diwariskan lepada Muluk sahabat Zainuddin.

Tidak ada komentar: