Halaman

Sabtu, 19 Maret 2011

Fase Ketiga: Masa Kanak-Kanak

Masa kanak-kanak dimulai dari selesainya masa menyusui hingga anak berumur enam atau tujuh tahun. Masa ini termasuk masa yang sangat sensitif bagi perkembangan kemampuan berbahasa, cara berpikir, dan sosialisasi anak. Di dalamnya terjadilah proses pembentukan jiwa anak yang menjadi dasar keselamatan mental dan moralnya. Pada saat ini, orang tua harus memberikan perhatian ekstra terhadap masalah pendidikan anak dan mempersiapkannya untuk menjadi insan yang handal dan aktif di masyarakatnya kelak. Konsep pendidikan yang tepat untuk diterapkan pada masa ini adalah sebagai berikut.
1. Mengenalkan Anak kepada Allah SWT

Anak atau bahkan manusia secara umum diciptakan dengan membawa bakat iman kepada Allah SWT. Hal itu kita buktikan dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang selalu ada di benaknya tentang asal-muasal dunia. Dari mana ia datang? Siapakah yang menciptakan kedua orang tuanya? Dari manakah asalnya mereka yang berada di sekelilingnya? Anak, dengan kemampuan berpikirnya yang sangat terbatas, siap untuk menerima teori adanya Tuhan yang menciptakan alam.

Kewajiban ayah dan ibu adalah memanfaatkan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk mengenalkannya pada Allah SWT, Tuhan yang Maha pencipta. Tentu saja, pengenalan tersebut sebatas kemampuan sang anak dalam mencerna pembicaraan dan permasalahan yang ada di hadapannya. Pengenalan anak pada keimanan kepada Allah SWT sama-sama ditekankan, baik oleh para ulama agama maupun para pakar ilmu jiwa.

“(Teori keimanan kepada Tuhan) merupakan nilai terpenting yang harus ditanamkan pada anak sejak usia dini....Hal itu akan memberinya semangat dalam menempuh kehidupan di dunia dan membuatnya percaya akan kemurahan dan kemampuan Tuhan. Selain itu, sang anak yang memiliki bekal agama akan terhindar dari perbuatan-perbuatan keji dan nista”.[1]

Pendidikan pada masa ini sebaiknya dijalankan secara bertahap sesuai dengan usia, kemampuan berpikir anak, dan kematangan bahasa dan nalarnya. Imam Muhammad Baqir a.s. dalam hal pendidikan bertahap ini mengatakan,

إذا بلغ الغلام ثلاث سنين يقال له : قل لا اله إلا الله سبع مرات , ثم يترك حتى تتم له ثلاث سنين وسبع أشهر وعشرون يوما فيقال له : قل محمد رسول الله سبع مرات , ويترك حتى يتم له أربع سنين ثم قال له : قل سبع مرات صلّى الله على محمد وآله ثم يترك حتى يتم له خمس سنين ثم يقال له : أيّهما يمينك و أيّهما شمالك ؟ فإذا عرف ذلك حوّل وجهه إلى القبلة ويقال له :اسجد , ثم يترك حتى يتم له سبع سنين فإذا تم له سبع سنين قيل له اغسل وجهك وكفيك فإذا غسلهما قيل له صلّ ثم يترك , حتى يتم له تسع سنين , فإذا تمت له تسع سنين علم الوضوء وضرب عليه وأمر بالصلاة وضرب عليها فإذا تعلم الوضوء والصلاة غفر الله عزّ وجل له ولوالديه إنشاء الله

Artinya: Jika anak telah berumur tiga tahun, ajarilah ia kalimat “Laa ilaaha illallah” (tiada Tuhan selain Allah) sebanyak tujuh kali lalu tinggalkan ia. Saat ia berusia tiga tahun tujuh bulan dua puluh hari, katakan kepadanya “Muhammad Rasulullah” (Muhammad adalah utusan Allah) sebanyak tujuh kali, lalu tinggalkan sampai ia berumur empat tahun. Kemudian, ajarilah ia untuk mengucapkan “Shallallaah ‘alaa Muhammad wa aalihi” (Salam sejahtera atas Muhammad dan keluarganya) sebanyak tujuh kali dan tinggalkan.

Setelah ia genap berusia lima tahun, tanyakanlah kepadanya mana kanan dan mana kiri? Jika ia mengetahui arah kanan dan kiri palingkan wajahnya untuk menghadap kiblat dan perintahkanlah ia untuk bersujud lalu tinggalkan.

Setelah ia berumur tujuh tahun suruhlah ia untuk mencuci wajah dan kedua tangannya dan perintahkanlah ia untuk shalat lalu tinggalkan.

Saat ia berusia genap sembilan tahun ajarilah wudhu dan shalat yang sebenarnya dan pukullah ia bila meninggalkan kewajibannya ini. Jika anak telah mempelajari wudhu dan shalat dengan benar, maka Allah akan mengampuninya dan mengampuni kedua orang tuanya, Insya Allah. [2]

Para pakar psikologi mendukung kebenaran teori yang diberikan oleh Imam Baqir di atas. Mereka mengatakan, “Saat berusia dua sampai tiga tahun, anak mulai menunjukkan kemampuannya menyebutkan benda-benda dan hubungan yang dilihatnya…Di akhir tahun ketiga, anak mulai bisa menggunakan kata-kata dan merangkainya sesuai dengan tata bahasa yang benar dan saat itulah ia telah dapat menyusun kalimat-kalimatnya yang masih sangat sederhana dengan baik dan benar”.[3]

Menanamkan benih-benih keimanan di hati sang anak pada usia dini seperti ini sangat penting dalam program pendidikannya. Anak di usianya yang dini tertarik untuk meniru semua tindak-tanduk ayah ibunya, termasuk yang menyangkut masalah keimanan.

Dr Spock mengatakan, “Yang mendasari keimanan anak kepada Allah dan kecintaannya pada Tuhan Yang Maha Pencipta sama dengan apa yang mendasari kedua orang tuanya untuk beriman kepada Allah dan mencintai-Nya.

Antara umur tiga sampai enam tahun, anak selalu berusaha untuk menirukan apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ketika mereka berdua mengenalkannya kepada Allah, ia akan mengenal Allah sejauh kemampuan orang tuanya menuangkan pengenalan ini dalam bentuk kata-kata”.[4]

Anak pada masa ini sangat membutuhkan hubungan cinta, kasih sayang dan kelembutan. Karena itu, sebaiknya orang tua mencurahkan cinta dan kasih sayang mereka kepada anak sebesar-besarnya dan sedapat mungkin menghindari hal-hal yang bersifat kekerasan.[5]

Dengan demikian, gambaran yang akan terukir di benak sang anak adalah bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang baik dan penyayang yang membuatnya tertarik untuk mencintai Allah dan berkeyakinan bahwa Allahlah yang memberinya rasa kasih sayang.

Jika kita hendak mengenalkan sang anak kepada hari kiamat, maka sebaiknya kita menitikberatkan keterangan pada kenikmatan-kenikmatan yang akan didapat oleh orang yang shaleh karena hal itu sangat sesuai dengan tabiatnya yang menyukai makanan, minuman, permainan dan lainnya. Kita katakan bahwa mereka akan mendapatkan semua kesenangan itu jika berbuat baik dan taat pada agama. Tetapi jika tidak, maka mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pengenalan terhadap api neraka dan siksaan yang ada di dalamnya dapat diberikan saat anak menginjak usia yang lebih matang.
2. Menanamkan Cinta kepada Nabi SAWW dan Ahlul Bait a.s.

Masa kanak-kanak juga merupakan masa pertumbuhan emosional anak dengan mulai cara belajar mencintai atau membenci sesuatu. Tugas orang tua adalah membangkitkan potensi alamiahnya ini dan mengarah-kannya pada contoh dan teladan kehidupan umat manusia dengan menanamkan rasa cinta kepada Nabi SAWW dan Ahlul Bait a.s. di lubuk hati anak.

Rasulullah SAWW bersabda,

أدبّوا أولادكم على ثلاث خصال : حبّ نبيكم , وحب أهل بيته , وقراءة القرآن

Artinya: Didiklah anak kalian tentang tiga hal, cinta kepada nabi kalian, cinta kepada Ahlul Baitnya a.s., dan membaca Al-Qur’an. [6]

Metode terbaik yang seyogyanya dijalankan para orangtua adalah menceritakan riwayat hidup manusia-manusia suci itu dan perilaku mereka di tengah masyarakat, khususnya yang menyangkut sikap ramah, lemah-lembut dan kemurahan hati mereka, juga ketabahan dan kesabaran mereka dalam menghadapi segala kesulitan maupun gangguan orang lain. Dengan mendengar kisah teladan seperti ini, secara otomatis, anak akan mencintai mereka dan membenci orang-orang yang memusuhi mereka, yaitu kaum kafir dan durjana.

Mengajak anak untuk mengenal Al-Qur’an sejak dini akan membuatnya akrab dengan kitab suci ini. Dengan keakrabannya ini, ia dapat mengetahui makna firman Allah, khususnya ayat-ayat yang mudah dimengerti artinya.

Realita membuktikan bahwa seorang anak dari masa ini mampu untuk mengulangi apa yang ia dengar dan menghapalnya dengan mudah. Jika kemampuan ini diarahkan kepada Al-Qur’an, maka anak akan merasa tertarik dan menjadi akrab dengannya. Apabila anak telah sampai pada tingkat cinta kepada Al-Qur’an, maka kitab Allah ini akan menjadi panduan bagi semua tindakan dan pemikirannya.
3. Mendidik Anak untuk Taat kepada Orang Tua

Ayah dan ibu memiliki peran yang sangat besar dalam pendidikan anak karena tanggung jawab untuk mendidik anak ada di pundak mereka. Merekalah yang bertugas yang menciptakan kepribadian anak di masa mendatang. Sementara itu, sekolah dan lingkungan memainkan peran kedua setelah peran mereka.

Jika seorang anak tidak terbiasa untuk patuh dan taat pada kedua orang tuanya, ia tidak mungkin mau mendengar nasehat, bimbingan, dan kata-kata mereka. Anak yang tumbuh dengan perilaku demikian akan menciptakan masalah bagi dirinya sendiri, orang tua, dan masyarakat sekitarnya. Kelak, ia akan menjadi seseorang yang tidak mengindahkan norma-norma yang ada di tengah masyarakat dan undang-undang yang disusun negara.

Imam Hasan Askari a.s. berkata,

جرأة الولد على والده في صغره , تدعو إلى العقوق في كبره

Artinya: Kelancangan anak terhadap ayahnya di masa kecil akan membuahkan kedurhakaan setelah besar nanti.[7]

Imam Muhammad Baqir a.s. berkata,

... شرّ الابناء من دعاه التقصير إلى العقوق

Artinya: Anak yang paling buruk adalah yang menjadikan kesalahan sebagai alat untuk mendurhakai orang tuanya.[8]

Mendidik anak untuk patuh dan taat pada orang tua menuntut kesabaran dan keuletan yang tinggi dari mereka berdua dalam membiasakan anak untuk mendengar kata-kata mereka. Anak di usia dini sedang mencari jati diri dan kebebasan, karena itulah kita katakan pekerjaaan ini menuntut keuletan dan kesabaran ekstra dari orang tua. Cara terbaik yang yang harus mereka lakukan dalam membiasakan anak untuk patuh adalah memberinya kasih sayang yang cukup.

Dr. Yusri Abdul Muhsin mengatakan,

“Faktor terpenting yang membantu anak untuk taat kepada orang tua adalah…belaian kasih sayang dan curahan cinta yang ia dapatkan dari orang tua dan seluruh anggota keluarganya”.[9]

“Anak akan mudah untuk patuh dan taat kepada orang tuanya jika ia merasa bahwa semua kebutuhannya akan keamanan, kasih sayang, penghormatan terhadap dirinya, kebebasan, dan sedikit kekuasaan, telah terpenuhi”.[10]

Dr. Fakhir Aqil menyebutkan kebutuhan utama anak adalah sebagai berikut. Pertama, kebutuhan terhadap jati diri dan kedudukan di dalam keluarga. Anak merasa perlu untuk dianggap dan diperlakukan seperti anggota keluarga yang lain. Berikutnya, kebutuhan terhadap rasa aman, kasih sayang, dan kebebasan.[11]

Jika anak merasakan bahwa ayah ibunya mencintai dan menghormatinya, otomatis ia akan berusaha untuk menarik hati mereka yang salah satu caranya adalah dengan patuh dan taat kepada mereka. Ayah dan ibu merupakan penentu utama yang membuat anak patuh kepada mereka. Dari sinilah Rasulullah SAWW bersabda,

رحم الله والدين أعان ولدهما على برّهما

Artinya: Semoga Allah merahmati kedua orang tua yang membantu anak untuk taat kepada mereka. [12]

Rasulullah SAWW dalam sebuah hadis menerangkan tentang cara membantu anak untuk taat. Beliau bersabda,

رحم الله عبدا أعان ولده علىبرّه بالإحسان إليه , والتأليف له ,وتعليمه وتأديبه

Artinya: Semoga Allah menurunkan rahmat atas hamba yang membantu anaknya untuk patuh kepadanya dengan memperlakukannya dengan baik, menyayangi, mengajari, dan mendidiknya. [13]

Beliau juga bersabda,

رحم الله من أعان ولده علىبرّه , وهو أن يعفو عن سيئته ويدعو له فيما بينه و بين الله

Artinya: Semoga Allah merahmati orang yang membantu anaknya untuk patuh kepadanya dengan memaafkan kesalahannya dan mendoakannya saat bermunajat dengan Tuhannya. [14]

Selanjutnya, Rasulullah SAWW juga pernah bersabda,

رحم الله من أعان ولده علىبرّه ... يقبل ميسوره , ويتجاوز عن معسوره , ولا يرهقه ولا يخرق به ...

Artinya: Semoga Allah merahmati orang yang membantu anaknya untuk taat kepadanya…menghargai pekerjaannya meskipun sedikit, memaafkan kesalahannya, tidak memaksanya untuk melakukan pekerjaan di luar kemampuannya, dan tidak menganggapnya bodoh. [15]

Pendeknya, kecintaan anak pada kedua orang tuanya adalah balasan atas cinta mereka kepadanya.[16]

Jika hubungan antara anak dengan orang tuanya adalah hubungan cinta dan kasih sayang, maka sudah dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan patuh dan taat kepada mereka berdua. Di lain pihak, baik ayah maupun ibu, harus memerintahkan sesuatu kepada anak mereka dengan lemah lembut dan dalam bentuk bimbingan atau anjuran, karena hal itu lebih mudah untuk diterima dan dilaksanakan. Tetapi, jika orang tua menggunakan cara-cara yang kasar, maka yang akan terjadi justeru sebaliknya.

Para pakar psikologi menekankan untuk menghindari cara kekerasan sebisa mungkin. Profesor Anwar Jundi mengatakan, “Ketika anak melakukan kesalahan, sedapat mungkin hindari kekerasan dan cara-cara yang kasar, karena jika anak sering mendapatkan perlakuan kasar, ia akan terbiasa dengan itu. Ia akan merasa cacian dan makian sebagai suatu yang biasa dan ini berarti bahwa nasehat tidak akan berbekas di hatinya”.[17]

Anak yang mendapat curahan kasih sayang yang cukup tidak akan merasa terbebani ketika harus patuh kepada orang tuanya. Ia juga tidak akan merasa bahwa ketaatannya itu akan mengganggu kebebasan yang ia miliki. Dengan cinta yang ia rasakan di lubuk hati, ia akan dengan senang hati meniru tindakan yang dilakukan oleh orang yang ia cintai, yaitu ayah dan ibunya. Dengan demikian, tindak-tanduk kedua orang tua itu akan terlihat pada perilaku anak mereka.

Jika anak diperlakukan layaknya seorang manusia yang matang, ia akan merasa berbesar hati dan menunjukkan tindakan dan sikap yang dewasa dengan cara yang tidak menyinggung kedua orang tuanya. Anak seperti ini akan dengan mudah belajar patuh dan taat, pertama, kepada orang tuanya, dan selanjutnya, taat kepada norma-norma luhur dalam masyarakat yang ia dapatkan dari ayah dan ibunya, sekolah, atau lingkungan sekitarnya.
4. Menghormati Anak

Dalam usianya yang dini, anak sangat membutuhkan kasih sayang dan pujian orang tuanya. Selain itu, ia juga ingin dipandang dan diberi kedudukan yang semestinya di dalam keluarga dan masyarakat. Ketika ia merasa bahwa dirinya dicintai baik oleh ayah dan ibunya maupun oleh lingkungan sekitarnya, ia akan mudah beradaptasi dengan baik. Anak akan tumbuh dengan baik jika merasa dicintai, dihargai, dan merasa aman berada di dalam rumah.[18]

Rasa cinta dan penghormatan yang dirasakan oleh anak sangat besar pengaruhnya terhadap semua sisi kehidupannya, seperti perkembangan bahasa, pikiran, emosi, dan kehidupan sosialnya. Anak selalu meniru perbuatan mereka yang dicintainya dan menerima nasehat, anjuran bahkan perintah mereka. Dari merekalah ia belajar melakukan pekerjaan yang terpuji dan perilaku merekalah yang akan tampak pada perilakunya. Itu semua terjadi karena anak merasa dicintai dan dihormati.

Banyak riwayat dari Rasulullah SAWW yang menekankan pentingnya untuk mencintai anak dan menghormatinya. Rasulullah bersabda,

أكرموا أولادكم وأحسنوا آدابهم

Artinya: Hormatilah anak kalian dan perbaikilah akhlak mereka dengan itu. [19]

Selain itu beliau juga bersabda,

رحم الله عبدا أعان ولده علىبرّه بالإحسان إليه والتأليف له وتعليمه وتأديبه

Artinya: Semoga Allah merahmati hamba yang membantu anaknya untuk taat kepadanya dengan memperlakukannya dengan baik, mencintai, mengajari, dan mendidiknya. [20]

Beliau dalam hadisnya yang lain bersabda,

نظر الوالد إلى ولده حبّا له عبادة

Artinya: Pandangan mata ayah kepada anaknya yang mengandung cinta terhitung sebagai ibadah. [21]

Dalam hadis Nabi SAWW yang lain disebutkan,

أحبّوا الصبيان وارحموهم , فإذا وعدتموهم فوفوا لهم , فإنهم لايرون إلاّ انكم ترزقونهم

Artinya: Cintailah anak kalian dan sayangilah mereka! Jika kalian menjanjikan sesuatu untuk mereka, tepatilah janji itu karena anak hanya melihat bahwa kalian memperlakukan mereka dengan baik. [22]

Salah satu hal yang bisa dikategorikan sebagai perwujudan rasa cinta dan penghormatan terhadap anak adalah dengan memujinya ketika melakukan perbuatan yang terpuji meskipun sedikit, memaafkan kesalahan yang ia lakukan, tidak menganggap bodoh kata-kata dan perbuatannya, dan tidak membebaninya pekerjaan yang diluar batas kemampuannya. Rasulullah SAWW pernah bersabda,

رحم الله من أعان ولده على برّه ... يقبل ميسوره ويتجاوز عن معسوره ولا يرهقه ولا يخرق به ...

Artinya: Semoga Allah merahmati orang tua yang membantu anaknya untuk patuh kepadanya dengan memuji perbuatan baiknya meskipun sedikit, memaafkan kesalahannya, tidak membebaninya pekerjaan yang tidak mampu ia lakukan, dan tidak menganggapnya bodoh. [23]

Mencium anak merupakan salah satu cara mengung-kapkan rasa cinta dan kasih sayang. Rasuilullah SAWW dalam hal ini mengatakan,

أكثروا من قبلة أولادكم , فان لكم بكل قبلة درجة في الجنة

Artinya: Sering-seringlah mencium anak kalian, karena setiap ciuman yang kalian berikan kepadanya akan diganjar dengan satu derajat di surga. [24]

Beliau juga bersabda,

من قبّل ولده كان له حسنة , ومن فرّحه فرّحه الله يوم القيامة ...

Artinya: Orang yang mencium anaknya akan diberi Allah pahala karena ciumannya itu dan orang yang menyenangkan hati anaknya akan digembirakan Allah di hari kiamat nanti. [25]

Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata,

برّوا آباءكم يبرّكم أبناؤكم

Artinya: Patuhilah orang tua kalian, maka kelak kalian akan ditaati oleh anak kalian. [26]

Hal yang termasuk ke dalam pengungkapan rasa cinta kepada anak adalah dengan memperdengarkan kata-kata cinta dan kasih sayang kepadanya. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Al-Hasan dan Al-Husain berlari mendatangi Rasulullah SAWW. Beliaupun menyambut mereka dengan mendekap salah satunya di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri, lalu bersabda, “Ini adalah dua bunga wewangianku di dunia.” [27]

Supaya anak merasa bahwa dia mempunyai kedudu-kan tersendiri di masyarakatnya, sehingga kepercayaan dirinya bertambah kuat, Rasulullah SAWW selalu mengucapkan salam kepada semua orang, baik anak kecil maupun orang dewasa. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah SAWW melewati sekelompok anak kecil lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka.[28]

Rasulullah SAWW memperlakukan Al-Hasan dan Al-Husain dengan perlakuan khusus. Diriwayatkan bahwa Rasulullah membai’at mereka berdua padahal mereka masih kecil[29].

“Menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang kepada anak merupakan faktor terpenting yang membantu anak untuk patuh dan taat kepada orang tuanya”.[30]

Sebaiknya, dalam rangka menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang kepada anak, orang tua tidak membedakan sikap saat si anak melakukan tindakan terpuji atau berbuat kesalahan yang bisa membuatnya terkena hukuman atau pukulan. Orang tua haruslah pandai-pandai bersikap sehingga anak dapat merasakan bahwa ayah dan ibu mencintainya dan tidak membencinya meskipun ia telah melakukan kesalahan.

Dr. Spock mengatakan, “Sebagai orang tua hendaknya kita pandai bersikap, sehingga anak tidak merasa bahwa ia dibenci meskipun hanya dengan pandangan mata. Sebab, anak tidak dapat membedakan antara kebencian orang tua atas tindakannya dengan kebencian mereka padanya”.[31]

Anak dapat kita sadarkan terhadap kesalahannya dengan cara mengajarkan secara berulang-ulang bahwa apa yang dilakukannya itu tidak disenangi oleh ayah dan ibunya, atau bahkan dibenci oleh masyarakat sekitarnya, meskipun mereka masih dan selalu mencintainya. Setelah itu, kita usahakan untuk melarangnya melakukan perbuatan salah tersebut dan menanamkan kepadanya bahwa cinta dan kasih sayang ayah dan ibu kepadanya akan lebih besar jika ia meninggalkan perbuatan itu.
5. Antara Sikap Lembut dan Keras

Menghormati anak, memperlakukannya dengan baik, menunjukkan rasa cinta kepada anak, menanamkan pada dirinya bahwa ia memiliki tempat di hati orang tua dan masyarakat sekitarnya, semua itu tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan melampui batas kewajaran. Orang tua tidak boleh memberinya kebebasan mutlak sehingga anak bisa berbuat apa saja semuanya. Karena itu, diperlukan adanya konsep yang menyeimbangkan sikap orang tua terhadap anak.

Berdasarkan konsep tersebut, orang tua tidak memberikan kebebasan mutlak dan tidak pula bersikap keras terhadap semua tindakan yang dilakukan anak. Dengan kata lain, orang tua harus menerapkan sikap lembut dan keras dengan batasnya masing-masing.

Sikap netral seperti ini hendaknya diusahakan untuk dipertahankan sampai anak melewati masa kanak-kanaknya dan mampu membedakan antara perbuatan yang benar dan terpuji dngan perbuatan yang salah dan dibenci. Sebab, tahun-tahun pertama adalah masa yang sangat sensitif dalam membentuk karakter dan jati diri anak.

Banyak riwayat yang menyebutkan pentingnya menjaga keseimbangan sikap dalam berhubungan dengan anak.

Imam Muhammad Baqir a.s. mengatakan,

شرّ الآباء من دعاه البرّ إلى الإفراط ..

Artinya: Ayah yang paling buruk adalah ayah yang berlebihan dalam menyayangi anaknya karena perbuatan baik yang ia lakukan. [32]

Ketika anak melakukan tindakan salah dan tidak terpuji, tugas orang tua adalah mengingatkannya bahwa bahwa perbuatan tersebut memiliki dampak negatif dan harus secepatnya ditinggalkan dan tidak diulangi lagi.

Namun jika nasehat dan sikap lemah-lembut ini tidak meninggalkan kesan apa-apa, maka tibalah giliran mereka harus bersikap tegas dan menghukum sisi psikis anak, bukan badannya. Sebab, hukuman terhadap jiwa anak lebih baik dari hukuman terhadap sisi jasmaninya. Imam Musa Kadzim bin Ja’far a.s. saat menjawab pertanyaan bagaimana mestinya orang tua bersikap terhadap anaknya, mengatakan,

لاتضربه واهجره ... ولا تطل

Artinya: (Jika anak melakukan kesalahan) jangan kau pukul dia, tapi diamkanlah (tidak berbicara dengannya)... tetapi, jangan biarkan keadaan ini berlangsung lama. [33]

Imam Musa a.s. tidak menganjurkan untuk memperlakukan anak dengan amat longgar saat ia melakukan kesalahan, juga tidak menyuruh menghukum anak dengan mendiamkannya dalam waktu yang lama. Akan tetapi, beliau mengajarkan bagaimana bersikap netral dan menyeimbangkan sikap lembut dan keras. Berlebihan atau sebaliknya, bersikap tidak acuh pada satu masalah akan menimbulkan banyak dampak negatif terhadap perkembangan nalar, emosi, dan perilaku anak.

Cara mendidik yang benar adalah dengan menyeimbangkan antara pujian dan hukuman bagi anak. Pujian yang berlebihan akan berakibat sama buruknya dengan hukuman berlebihan karena kedua-duanya akan mengganggu keseimbangan mental anak dan membuatnya gelisah.

“Anak yang tumbuh besar dalam lingkungan kasih sayang yang berlebihan akan lemah dalam menghadapi tantangan kehidupan dan tidak mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri”.[34]

Kematangan emosi anak manja akan jauh lebih lambat dibanding dengan anak-anak lainnya. Masa kanak-kanak bagi anak seperti ini akan lebih panjang.[35] Ia akan selalu memerlukan bantuan dan bimbingan orang tuanya dalam semua hal. Hal ini akan berlangsung sampai sang anak menginjak usia dewasa.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak menyaksikan anak-anak atau bahkan orang dewasa yang selalu menunggu uluran tangan orang lain atau masyarakat dalam menyelesaikan urusan mereka. Mereka pun selalu mengharapkan orang lain untuk mendukung pendapatnya dan selalu mengharapkan pujian dari pihak lain. Orang-orang seperti ini tidak mampu menghadapi tantangan kehidupan.

Hal yang sama juga terjadi pada anak yang merasa terbuang dan tidak atau kurang mendapat perhatian, atau anak yang sering mendapat kecaman, cacian atau hukuman dari kedua orang tuanya. Amirul Mukminin Imam Ali a.s. berkata,

الافراط في الملامة يشبّ نيران اللجاج

Artinya: Berlebihan dalam mengecam (anak) akan membangkitkan semangatnya untuk menentang. [36]

Karena itulah, sering kita temukan dalam kehidupan anak-anak berandal dan suka mengganggu orang lain umumnya adalah mereka yang di masa kecil sering menjadi sasaran cacian, makian, dan pukulan.

Tugas orang tua adalah mengajarkan kepada anak-anak mana perbuatan yang terpuji dan mana yang tercela serta bahwa pujian atau celaan yang didapatkan oleh seseorang dikarenakan perbuatan yang ia lakukan. Dengan demikian, kita telah menanamkan di hati mereka rasa cinta terhadap kebajikan dan rasa benci terhadap kemungkaran.

Di samping itu, kita harus berusaha untuk memperkuat tekad dan kemauan pada dirinya agar kelak, ia menjadi orang yang berkemauan keras dalam melakukan kebajikan dan meninggalkan kemungkaran. Hal itu jauh lebih baik dari pada anak meninggalkan perbuatan buruk karena takut hukuman atau melakukan kebaikan karena menginginkan pujian.

Orang tua hendaknya menjadikan hukuman dan pujian yang dilakukannya murni bermaksud mendidik, bukan karena emosi pribadi mereka. Sering terjadi, seseorang mendapat masalah yang membangkitkan emosinya, lalu anak yang menjadi sasaran amarahnya meskipun si anak tidak berbuat kesalahan apapun. Rasulullah SAWW melarang untuk menghukum anak saat amarah sedang memuncak[37].

Ada beberapa keadaan yang harus diperhatikan oleh orang tua agar tidak menimbulkan dampak negatif pada perkembangan nalar dan emosi anak. Sebagai contoh, umumnya anak ketika ia memecahkan benda berharga akan bergembira karena ia merasa telah melakukan perbuatan yang sangat terpuji dengan menjadikan satu benda menjadi beberapa keping. Saat itu ia menunggu untuk mendapat pujian akan pekerjaannya tersebut. Namun malang, orang tua biasanya bukan hanya tidak memujinya, malah melayangkan pukulan kepadanya yang tentu membuat sang anak terkejut. Hal ini mengakibatkan dampak yang sangat negatif pada kejiwaan anak.

Namun, terkadang anak memang perlu mendapatkan sedikit pelajaran, teguran, tidak disapa, atau bahkan pukulan, seperti yang dikatakan oleh Dr Spock, “Anak seringkali lebih bergembira ketika ia tahu bahwa ayahnya telah menentukan batas-batas yang dapat membuat mereka dikenai hukuman”.[38]

Ketika sakit, anak membutuhkan perhatian dari orang tuanya. Namun, jangan sampai perhatian mereka atas keadaannya ini menjadi berlebihan. Usahakan untuk menjaga keseimbangan dalam memberikan perhatian kepadanya. Perhatian yang berlebihan yang biasanya diberikan oleh para ibu kepada anak saat jatuh sakit, akan membuat anak tersebut sombong, cengeng, gampang mengadu, dan mudah menyerah.[39]

Seperti yang telah kami singgung pada awal buku ini, ayah dan ibu harus memiliki program dan sikap yang sama dalam mendidik anak mereka karena dengan inilah anak akan mengetahui mana perbuatannya yang salah dan mana yang benar. Jika ayah menganggap sebuah pekerjaan itu salah, ibu juga harus menyesuaikan pandangannya dalam hal ini dengan pandangan ayah. Begitu pula halnya dengan perbuatan yang terpuji. Sebab, “...perilaku yang tidak jelas dan penyakit jiwa yang terjadi pada anak di usia dini atau orang dewasa umumnya disebabkan oleh kesalahan orang tua dalam bersikap terhadap mereka … seperti perbedaan dalam memperlakukan anak. Sebagai contoh, ketidak-pastian antara sikap memaafkan dan sikap tegas atau memanjakan dan tidak acuh padanya. Sikap yang tidak pasti seperti ini akan melahirkan sikap permusuhan pada diri anak, kekerasan hati, dan keragu-raguan pada satu sisi, atau sikap selalu bergantung kepada orang lain dan kepribadian yang lemah pada sisi yang lain”. [40]
6. Sikap Adil terhadap Semua Anak

Biasanya anak pertama dalam sebuah keluarga menjadi anak yang paling disayang dan dicintai oleh pasangan suami isteri. Ya, karena dia adalah buah hati pertama dan satu-satunya pada saat itu. Perhatian orang tua hanya tercurahkan kepadanya. Semua keperluan dan permintaannya selalu dipenuhi. Ayah dan ibunya selalu berusaha sedapat mungkin untuk memberikan apa saja kepadanya seperti pakaian, mainan, dan lain-lainnya. Setiap saat ia selalu bersama ibu atau ayah, atau bahkan keduanya. Pendeknya, orang tua seringkali memanja-kannya dan memberikan perhatian yang berlebihan kepadanya.

Anak seperti ini nantinya akan menghadapi kesulitan saat adiknya lahir. Kelahiran anak kedua merupakan peristiwa yang sangat menakutkan baginya. Karena sudah pasti adiknya itu akan merupakan saingan baginya dalam segala sesuatu. Adiknya itu akan menjadi saingan dalam merebut kasih sayang ayah dan ibu, saingan dalam kedudukannya sebagai anak satu-satunya, saingan dalam kepemilikan benda-benda mainan, dan lain-lain.

Dengan demikian, sejak awal kelahiran anak kedua, ia telah dimakan oleh api kecemburuan karena ia melihat kini baik ayah maupun ibu disibukkan oleh hal baru, yaitu kelahiran adiknya. Jika orang tua tidak menyadari situasi ini, rasa cemburu anak pertama lambat-laun akan berubah menjadi rasa benci dan permusuhan terhadap adiknya. Rasa benci dan permusuhan ini akan menguasai emosi dan psikisnya. Hal itu akan bertambah parah jika si adik mendapat perhatian yang besar sedangkan ia kini tidak lagi dipedulikan.

Tugas pertama orang tua saat itu adalah cepat-cepat menyadari apa yang sedang terjadi dan mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan. Caranya adalah dengan memperlakukan anak sulungnya seperti dulu dan tidak mengurangi kasih sayang kepadanya.

Selain itu, mengajarinya untuk menyayangi dan mencintai bayi yang baru lahir ini dan memberitahunya bahwa bayi ini adalah adiknya yang kelak akan menjadi teman bermain dan bukan saingan baginya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan cara mendekap dan menciumnya, dengan tetap memenuhi kebutuhannya dan membeli-kannya mainan-mainan yang baru, atau hal-hal lainnya yang dapat menunjukkan bahwa dia masih disayangi. Kunci masalah ini adalah sikap adil terhadap anak-anak karena hal itu akan mengobati rasa cemburu, benci, dan permusuhan pada diri anak.

Sikap adil seperti lebih ditekankan jika mereka memiliki dua anak yang berusia sama atau sebaya karena emosi dan kemampuan berpikir mereka berdua perlahan-lahan bertambah matang sehingga dapat mengerti arti dari kata adil dan persamaan lalu menerapkannya pada dunia yang dihadapinya. Banyak riwayat yang menekankan pentingnya sikap adil terhadap anak-anak.

Rasulullah SAWW bersabda,

اعدلوا بين أولادكم كما تحبّون أن يعدلوا بينكم في البر واللطف

Artinya: Berlakukah adil terhadap anak-anak kalian sebagaimana kalian ingin diperlakukan adil dalam hal ketaatan dan kebaikan.[41]

Anjuran untuk bersikap adil terhadap anak-anak ini mutlak, tidak mengenal batas dan ruang tertentu, dan mencakup seluruh sisi kehidupan anak baik sisi fisik maupun psikisnya. Rasulullah SAWW pernah berkata kepada seseorang yang memiliki dua anak tapi hanya mencium salah seorang dari mereka saja,

فهلاّ ساويت بينهما

Artinya: Mengapa tidak kausamakan perlakuanmu terhadap kedua anak itu? [42]

Beliau juga bersabda,

إن الله تعالى يحب أن تعدلوا بين أولادكم حتى في القبل

Artinya: Sesungguhnya Allah SWT menyukai tindakan adil kalian terhadap anak-anak kalian meskipun hanya dalam masalah ciuman. [43]

Selain itu beliau juga menekankan agar orang tua bersikap adil dalam memberi makanan, minuman, mainan, dan sebagainya kepada anak-anak. Beliau bersabda,

ساووا بين أولادكم في العطية فلو كنت مفضلا أحدا لفضلت النساء

Artinya: Berlakulah adil dalam memberikan sesuatu kepada anak-anak kalian. Namun, jika aku ingin melebihkan pemberian salah satu dari mereka, anak perempuanlah yang akan aku lebihkan pemberiannya. [44]

Beliau juga bersabda,

اعدلوا بين أولادكم في النحل كما تحبّون أن يعدلوا بينكم في البر واللطف

Artinya: Berlakukah adil terhadap anak-anak kalian dalam memberikan sesuatu kepada mereka, sebagaimana kalian ingin diperlakukan adil dalam hal ketaatan dan kebaikan. [45]

Tapi perlu diingat, bahwa sikap adil bukan berarti sama sekali kita tidak boleh melebihkan salah satu dari mereka atas lainnya karena tidak bisa dipungkiri, bahwa ada ada salah satu dari mereka yang lebih menarik bagi ayah atau ibu.

Rufa’ah Al-Asadi mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Abul Hasan Imam Musa Kazhim a.s. mengenai seorang ayah yang memiliki anak banyak dari ibu yang berlainan. Bolehkah orang tersebut melebihkan perhatian-nya kepada salah satu dari mereka? Imam menjawab,

نعم , لا بأس به , قد كان أبي -عليه السلام-يفضلني على أخي عبد الله

Artinya: Ya, tidak apa-apa. Dulu aku dibanding saudaraku, Abdullah, lebih diperhatikan oleh ayahku. [46]

Meskipun demikian, melebihkan seorang anak dari yang lainnya harus dilakukan secara terselubung tanpa sepengetahuan mereka dan dengan menjaga perasaan masing-masing. Dalam kenyataannya, orang tua harus menunjukkan sikap adil. Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata,

قال والدي : والله لأصانع بعض ولدي وأجلسه على فخذي وأكثر له المحبّة وأكثر له الشكر وان الحق لغيره من ولدي ولكن محافظة عليه منه ومن غيره لئلا يصنعوا به ما فعل بيوسف اخوته

Artinya: Ayahku pernah berkata, “Demi Allah, terkadang aku bersikap pura-pura terhadap anakku dengan mendudukkannya di pangkuanku, menunjukkan rasa cintaku, dan memujinya padahal yang lebih berhak untuk kuperlakukan seperti itu adalah anakku yang lain. Tapi hal itu aku lakukan karena khawatir akan hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi dan agar kisah Yusuf dan saudara-saudaranya tidak terulang kembali.” [47]

Mengabaikan sikap adil terhadap anak-anak akan berdampak negatif pada diri mereka yang selanjutnya menumbuhkan benih-benih kebencian dan permusuhan di antara mereka, seperti yang diperlihatkan pada saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. yang melemparkannya ke dalam sebuah sumur di padang sahara.

Rasulullah SAWW dalam kehidupannya sehari-hari berlaku adil antara anak-anak dan cucu beliau tanpa membedakan mana anak dan mana cucu. Abdullah bin Abbas r.a. berkata, “Aku pernah berada di sisi Rasulullah SAWW yang saat itu sedang memangku Ibrahim putranya di sebelah kiri dan memangku cucunya Al-Husain bin Ali di sebelah kanan. Beliau kadang-kadang mencium Ibrahim dan kadang-kadang mencium Al-Husain.” [48]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW sedang mengerjakan shalat. Tiba-tiba Al-Hasan dan Al-Husain datang dan menaiki punggung beliau bersama-sama. Ketika hendak mengangkat kepala dari sujud, beliau mengangkat kedua cucunya itu perlahan-lahan dan saat beliau kembali sujud, keduanya kembali menaiki punggung Utusan Tuhan itu. Selesai shalat, Rasulullah SAWW meletakkan salah satunya di pangkuan kanan dan yang lain di pangkuan kirinya. [49]

Rasulullah SAWW pernah berdiri di atas mimbar dan menyampaikan ceramahnya. Tiba-tiba Al-Hasan dan Al-Husain datang dan mendekati beliau. Rasulullah SAWW segera turun dari mimbar dan mengangkat mereka berdua.[50]

Salah satu wujud dari sikap adil dan persamaan adalah dengan tidak membandingkan sifat jasmani, ruhani dan kejiwaan satu anak dengan anak yang lain. Jadi, orang tua tidak boleh mengatakan bahwa si fulan lebih cantik dari fulan, fulan lebih cerdas atau lebih sopan dari fulan, karena hal itu akan memancing rasa iri dan dengki antara mereka.

Membandingkan satu anak dengan anak yang lain akan menghadirkan rasa cemburu yang selanjutnya akan menimbulkan persaingan di antara mereka.[51] Sikap tersebut juga akan menghilangkan rasa percaya di antara mereka. Tidak membedakan perlakuan terhadap satu anggota keluarga dengan yang lain adalah faktor terpenting yang harus diperhatikan guna menciptakan suasana saling mempercayai antar anggota keluarga.[52]

Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan banyak orang tua yang bersikap tidak baik dengan, umpamanya, mengatakan, “Anakku yang bernama fulan mirip denganku, tapi si fulan tidak”. Pembandingan seperti ini juga dapat melahirkan kecemburuan dan persaingan di antara mereka. Lebih baik jika hal ini dihindari.

Tindakan adil lain yang harus dilakukan orang tua adalah tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Membedakan perlakuan di antara keduanya akan berakibat buruk pada diri anak perempuan. Selain itu, tindakan ini juga dapat melahirkan kebencian dan permusuhan antara mereka.

Fenomena seperti ini sering kita jumpai dalam masyarakat. Biasanya, orang tua lebih memperhatikan anak laki-laki daripada anak perempuan. Mereka lebih memikirkan permintaan anak laki-laki daripada permintaan anak perempuan.

Islam melihat fenomena seperti ini sebagai hal buruk yang harus dihindari. Karena itulah, kita saksikan banyak sekali riwayat yang mengagungkan anak perempuan di atas anak laki-laki dan memerintahkan para orang tua untuk memberikan perhatian ekstra kepadanya. Di antara riwayat-riwayat itu adalah riwayat Abdullah bin ‘Abbas r.a. yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda,

من دخل السوق فاشترى تحفة فحملها إلى عياله كان كحامل صدقة إلى قوم محاويج وليبدأ بالاناث قبل الذكور

Artinya: Jika seseorang masuk ke pasar lalu membeli apel untuk dibawa ke rumahnya, orang tersebut sama dengan orang yang membawa sedekah untuk satu kaum yang sangat membutuhkan. Dalam membagikan apel itu, hendaknya ia memulainya dari anak perempuan. [53]

Memulai pembagian dari anak perempuan tidak akan berakibat buruk terhadap anak laki-laki, karena ia melihatnya sebagai hal wajar yang harus terjadi dalam sebuah pembagian dengan mendahulukan salah satu dari mereka. Anak laki-laki umumnya tidak memperhatikan perbedaan sikap orang tua dalam hal ini, baik ia dinomorsatukan atau dinomorduakan.

Sikap adil terhadap anak-anak bukan berarti bahwa kita tidak diperkenankan memberikan hadiah tambahan kepada anak yang melakukan perbuatan terpuji. Hal itu justeru harus dilakukan orang tua guna mendorong anak-anak melakukan perbuatan baik.

Pemberian hadiah bahkan dapat merangsang anak-anak untuk bersaing secara sehat dalam melakukan hal-hal terpuji tanpa menimbulkan dampak negatif pada diri mereka. Tugas orang tua saat itu adalah mengenali dengan seksama sifat dan kepribadian anak-anak mereka dan kemudian memikirkan metode pemberian hadiah yang paling sesuai dengan kondisi psikis mereka. Dengan demikian tidak timbul anggapan bahwa ayah dan ibu bertindak tidak adil dengan memberikan hadiah kepada satu anak saja.

Meskipun orang tua telah bersikap adil dan memperlakukan anak-anak dengan sama, semua itu tidak akan dapat menghilangkan sama sekali pertengkaran di antara mereka. Hal ini tidak perlu dirisaukan karena merupakan sesuatu hal yang wajar dan terjadi di semua atau, paling tidak, sebagian besar keluarga.

Pertengkaran mulut biasa terjadi di antara anak-anak, bahkan terkadang sampai ke tingkat saling baku-hantam. Ketika itu, masing-masing saling menuduh bahwa saudaranyalah yang bersalah atau memulai pertengkaran ini. Dalam menghadapi hal ini, orang tua harus bersikap bijak dengan memandangnya secara obyektif dan melihat permasalahan ini sebagai hal yang lumrah terjadi. Jika pertengkaran itu masih dalam batas-batas kewajaran, sebaiknya ayah dan ibu tidak campur tangan untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Biarkan mereka menyelesaikan sendiri pertengkaran itu.

Sikap yang salah sering ditunjukkan oleh banyak orang tua dengan masuk ke dalam pertengkaran anak-anak dan bertindak sebagai hakim. Menyatakan salah satunya sebagai pihak yang salah, atau bahkan menghukumnya, tidak sesuai dengan konsep keadilan di antara anak-anak.

Namun, bila pertengkaran itu terjadi berkali-kali atau berkelanjutan sepanjang hari atau pertengkaran terjadi dengan hebatnya dan berbahaya, tibalah saatnya orang tua turun tangan dengan memerintahkan mereka untuk mengakhiri pertengkaran tersebut secepatnya, atau memalingkan perhatian mereka kepada hal-hal lain dan menyibukkan mereka dengannya, atau memisahkan mereka. Bila diperlukan untuk menghukum, sebaiknya hukuman itu dikenakan kepada mereka berdua dengan memperhatikan konsep keadilan dan persamaan.
7. Kebebasan Bermain

Bermain adalah kebutuhan utama anak-anak yang harus dipenuhi. Dengan bermain, anak akan merasa puas. Bermain dapat menjadi langkah awal dari suatu pekerjaan yang sebenarnya. Dari situlah anak dapat menunjukkan kemampuan bergaul dengan teman-teman sebayanya dan menambah kematangan berbahasa, nalar, dan jasmaninya. Lewat bermain, anak akan mengetahui banyak hal yang ada disekitarnya.

“Anak akan menunjukkan kemampuan dan rasa percaya dirinya dalam bermain.…Permainan memberinya kesenangan dan kepuasan, juga mengembangkan potensi berkarya anak”. [54]

“Dengan bermain, kematangan diri, nalar, sosial, dan reaksi anak akan berkembang...Anak akan belajar norma-norma kemasyarakatan, bereaksi terhadap sesuatu, berkawan, dan saling membantu…. Dengannya, anak akan merasa terpenuhi kebutuhannya seperti kesenangannya untuk memiliki…Anak juga merasa puas, senang, dan bahagia dengan masa kanak-kanaknya”. [55]

Bermain merupakan kebutuhan bagi anak yang harus dipenuhi. Karena itulah, tidak mungkin ada anak kecil yang tidak bermain. Hukum alam tidak mengecualikan siapapun juga, termasuk para nabi a.s. dan hamba-hamba shaleh lainnya. Di masa kanak-kanak, mereka juga bermain seperti lazimnya anak-anak yang lain meskipun permainan yang mereka lakukan berbeda dengan yang lain. Teks-teks agama banyak mencantumkan perintah untuk memenuhi kebutuhan anak ini.

Imam Ja’far Shadiq a.s. mengatakan,

دع ابنك يلعب سبع سنين ...

Artinya: Biarkan anakmu bermain sesuka hatinya sampai ia berumur tujuh tahun....[56]

Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAWW bersabda,

الولد سيّد سبع سنين ...

Artinya: Anak adalah tuan sampai ia berumur tujuh tahun.... [57]

Imam Amirul Mukminin Ali a.s. berkata,

يرخى الصبي سبعا ...

Artinya: Anak bebas bermain sampai ia berumur tujuh tahun.... [58]

Dari beberapa hadis di atas dapat disimpulkan bahwa usia di bawah delapan tahun adalah usia bermain. Tugas orang tua saat itu adalah memberi mereka kebebasan untuk bermain tanpa larangan, kecuali permainan berbahaya yang memang harus dijauhkan dari mereka.

Kebebasan dalam bermain berarti bahwa orang tua tidak ikut campur tangan dalam hal waktu bermain, jenis permainan, dan caranya tetapi dengan catatan bahwa permainan tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma suci Islam dan masyarakat, serta tidak membahayakan anak maupun orang lain. Dalam bermain, anak dalam usianya yang dini ini tidak menyukai campur tangan orang tua maupun perintah mereka dalam permainan.

Permainan terbaik untuk anak adalah apa yang mereka pilih sendiri atau yang mereka buat dengan kreasi sendiri. Anak-anak terkadang suka menciptakan satu jenis permainan baru atau cara bermain yang baru. Hal terbaik bagi orang tua adalah menyiapkan alat-alat yang bisa dibuat untuk bermain yang kira-kira sesuai dengan selera anak.

Dr. Spock mengatakan, “Tugas kita (orang tua) adalah membiarkan anak-anak untuk mengurusi permainan mereka sehingga mereka bisa belajar dari permainan tersebut…. Kita serahkan kepada mereka semua hal yag menyangkut permainan itu. Biarkan anak-anak mengikuti daya khayal mereka. Hanya dengan cara inilah, permainan akan bermanfaat bagi mereka. Permainan haruslah menjadi guru bagi mereka. Dan mereka harus memanfaatkan potensinya untuk mempergunakan mainan-mainan yang disediakan sesuai dengan apa yang khayalkan. Ketika anak merasa bahwa ia membutuhkan bantuan orang tuanya untuk menyelesaikan problem permainannya, tibalah giliran orang tua untuk membantunya”.[59]

Para pakar psikologi menekankan untuk memberi kebebasan kepada anak dalam bemain. “Janganlah Anda melarang anak-anak jika mereka ingin membuat suatu acara bermain sendiri karena kemampuan menyusun program dan suasana yang kondusif dalam menjalankan program tersebut--dalam bentuk tidak adanya sesuatu hal pun yang menghalanginya--merupakan faktor terpenting yang membentuk kepribadian anak”.[60]

Rasulullah SAWW sering menyuruh dua cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain, untuk bergulat. Diriwayatkan bahwa suatu malam Rasulullah SAWW masuk ke rumah putrinya, Fathimah a.s. ketika Al-Hasan dan Al-Husain ada di situ. Kepada mereka berdua, beliau bersabda,

قوما فاصطرعا ...

Artinya: Ayo bangunlah kalian dan bergulatlah....[61]

Shafwan Al-Jammal berkata, “…Abul Hasan Imam Musa yang kala itu masih kecil datang dengan membawa seekor binatang. Kepada binatang itu beliau mengatakan, ‘Sujudlah kepada Tuhanmu!’. Ayah beliau, Imam Ja’far Shadiq a.s. yang menyaksikan adegan itu langsung mengangkat dan mendekapnya….” [62]

Rasulullah memberikan kebebasan kepada Al-Hasan dan Al-Husain a.s. untuk bermain dengan beliau. Terkadang mereka berdua menaiki punggung beliau dan berseru, “Hay, hay!” Nabi SAWW yang dinaiki bersabda,

نعم الجمل جملكما

Artinya: Unta terbaik adalah unta kalian. [63]

Apa yang terjadi pada Rasulullah SAWW juga sering terjadi pada kita, para orang tua. Anak terkadang menaiki punggung kita saat kita sedang melaksanakan shalat. Yang harus kita lakukan saat itu adalah membiarkan keadaan itu dan memindahkan mereka dengan lembut tanpa kekerasan karena hal ini tidak berlangsung selama-lamanya. Ketika anak menginjak usia tertentu, ia akan dengan sendirinya meninggalkan pekerjaan itu.

Dari sebagian riwayat, kita dapatkan bahwa Rasulullah menganggap hal ini sebagai sesuatu yang sepele dan wajar meskipun terjadi di depan khalayak ramai. Abdullah bin Zubair berkata, “Aku ingin bercerita kepada kalian tentang orang yang paling mirip dengan Rasulullah SAWW dan paling beliau cintai, yaitu Al-Hasan bin Ali. Suatu hari aku melihat Rasulullah SAWW sedang bersujud, tiba-tiba Al-Hasan datang dan menaiki leher atau punggung beliau. Rasulullah SAWW tidak menurunkannya. Beliau menunggu sampai cucu kesayangannya itulah yang turun dari punggung beliau. Aku juga pernah melihat Rasulullah SAWW sedang ruku’ lalu Al-Hasan datang dan keluar-masuk di antara dua kaki beliau.”[64]

Perlu dicermati bahwa apa yang beliau lakukan bukan berarti campur tangan dalam permainan mereka, melainkan, beliau berlaku seolah-olah anak kecil yang sedang bermain dengan mereka.

Ikut bermain seperti ini merupakan salah satu hal yang harus dilakukan oleh orang tua dan termasuk salah satu faktor terpenting dalam mengembangkan potensi dan kemampuan anak, dan lebih penting dari itu, hal ini dapat membuat anak merasa bebas dan memiliki kepribadian yang kuat.[65] Cara yang paling baik untuk ikut bermain adalah dengan menggunakan bahasa dan istilah-istilah yang dikenal oleh mereka dan sesuai dengan kemampuan berbahasa yang mereka miliki. Atau dengan kata lain, ayah dan ibu berlaku seolah-olah mereka adalah anak kecil.

Rasulullah SAWW bersabda,

من كان عنده صبي فليتصابّ له

Artinya: Jika seseorang memiliki anak kecil hendaknya ia berlaku seperti anak kecil pula di hadapan anaknya. [66]

Para pakar psikologi menyatakan, “Anda harus memperlakukan anak-anak seperti teman. Ajaklah mereka untuk melakukan suatu pekerjaan bersama kalian. Ikutlah dalam permainan mereka…. Berbicaralah dengan mereka dengan bahasa cinta dan kasih sayang…. Semua orang harus berusaha untuk menempatkan dirinya seperti anak kecil dan berbicara dengan bahasa mereka”. [67]

Saat anak menyaksikan orang tuanya mau bermain dengan bersamanya, ia akan merasa bahwa dirinya mempunyai kedudukan tersendiri di hati orang tua. Dengan demikian, ia akan merasa berbahagia dan bergembira. Karena itu, orang-orang yang dewasa harus menuruti selera anak kecil jika ia mengajak mereka bermain.[68]

Bermain merupakan sarana pendidikan yang paling tepat dalam mempersiapkan anak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya di masa mendatang. Dengan bermain, kepribadian anak dan potensi yang ia miliki akan dapat kita saksikan dengan jelas. Bermain adalah sarana pengajaran dan pendidikan sosial dan etika bagi anak.[69]

Bermain dapat menjadi ukuran apakah perilaku anak normal anak atau tidak. Di tengah-tengah permainan, anak akan mengungkapkan kesulitan yang dihadapinya. Lebih jauh lagi, pada saat bermain itulah, segala reaksi yang biasanya ditunjukkan anak-anak jika berhadapan dengan orang yang lebih dewasa akan hilang.[70]

Berdasarkan hal tersebut di atas, orang tua harus memperhatikan anak-anak saat bermain tanpa sepengetahuan mereka. Dengan demikian ayah dan ibu akan mengetahui banyak hal yang berhubungan dengan kepribadian dan kemampuan anak-anak mereka dalam bermasyarakat. Semua pembicaraan dan reaksi yang ditunjukkan anak-anak haruslah diperhatikan, juga cara mereka mengutarakan isi hati, keinginan, kecemasan, dan problem yang dihadapi, khususnya jika keadaan itu terjadi berulang-ulang. Selain itu, orang tua harus jeli melihat sikap lemah atau keras si anak, ketidakstabilan emosinya, dan pandangannya tentang orang tuanya, khususnya jika bermain dengan berperan sebagai ayah atau ibu. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, kita akan mengetahui sejauh mana kemampuan berbahasa, berpikir dan emosi anak. Setelah mengetahui dengan baik apa yang terjadi pada anak-anak, tibalah giliran untuk menyesuaikan program pendidikan dengan kondisi masing-masing anak.

Memperhatikan anak secara tidak langsung jauh lebih bermanfaat daripada terjun langsung dalam permainan mereka, karena anak cenderung untuk menyembunyikan banyak hal di hadapan orang tuanya, baik karena malu maupun karena takut kepada mereka.
8. Anak dan Masalah Seksual

Masalah seksual adalah masalah yang paling rumit dalam pendidikan, karena umumnya orang tua kesulitan dalam menghadapi masalah ini. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini, yang bergantung pada konsep dasar pendidikan yang dipilih orang tua, atau adat istiadat yang berlaku di tengah masyarakat dan juga bergantung pada tingkat kesadaran orang tua anak. Dari sini kita ketahui, mengapa banyak orang yang jatuh pada dua sikap ekstrim yang berlawanan, sebagian menga-baikannya sama sekali, tetapi sebagian lagi mengajarkan kepada anak dengan sangat terbuka.

Anak, baik laki-laki maupun perempuan, secara naluriah memiliki segudang pertanyaan yang menyangkut masalah seksual, seperti bagaimana ia tercipta dan berada di rahim ibu? Mengapa hanya ibu yang mengandung sedangkan ayah tidak? Bagaimanakah proses persalinan? Mengapa anak perempuan dan wanita yang tidak bersuami tidak hamil? Mengapa mesti ada perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan? Masih banyak lagi pertanyaan yang lain yang mereka miliki.

Orang tua seharusnya menganggap pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebagai hal yang wajar sehingga tidak perlu takut untuk mendengar dan memberikan jawabannya. Sikap terbaik yang mesti mereka ambil adalah tidak melarang anak untuk menanyakannya karena anak tersebut pasti akan mencari jawabannya dari orang lain yang tentu akan mengakibatkan banyak hal yang tidak diinginkan jika jawaban yang didapatnya tidak memuaskan atau terlalu vulgar.

Tugas orang tua adalah mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan anak seperti ini dan membantu mengatasi rasa keingintahuan mereka dengan memberikan jawaban-jawaban yang masuk akal dan memuaskan. Dengan sendirinya, anak tidak akan mengulangi pertanyaannya setelah merasa bahwa jawaban yang diterima itu memuaskan.

Jawaban yang diberikan ayah dan ibu haruslah sesuai dengan daya tangkap anak. Sebagai contoh, jika anak bertanya tentang proses kehamilan, dapat kita katakan bahwa Allahlah yang menciptakan anak dan meletakkan di perut ibu. Jika anak bertanya tentang perbedaan jenis kelamin, kita jawab bahwa anak laki-laki sama dengan ayahnya sedangkan anak perempuan sama dengan ibu. Atau kita katakan, bahwa Allah menciptakan anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Jawaban mesti diberikan dalam bentuk yang wajar, jauh dari hal-hal yang menimbulkan kekhawatiran, sehingga anak tidak menganggap bahwa jawaban ayah atau ibu tidak benar dan tidak sesuai lalu terdorong untuk mencari jawaban dari orang lain.

Ada beberapa kegemaran anak yang mesti kita jauhkan darinya dengan cara lembut tanpa menggunakan cara kekerasan. Pada usia tiga sampai enam tahun, anak biasa menikmati anggota-anggota tubuhnya yang berbeda antara satu waktu dengan yang lain.[71]

Sebagian anak gemar mempermainkan alat kelaminnya. Tugas orang tua adalah menjauhkan anak dari perilaku tersebut secara halus atau memalingkan perhatiannya dengan hal-hal yang lain. Selain itu, orang tua tidak boleh membuka aurat di depannya. Sebab, banyak pakar berpendapat bahwa kebiasaan orang tua membuka aurat mereka di hadapan anak merupakan hal yang mengejutkan bagi anak. Dr. Spock mengatakan, “Saya meminta kepada semua ayah dan ibu untuk memperhatikan hal ini dan menutup anggota badan mereka sebatas kewajaran di hadapan anak.”[72]

“Umumnya anak dari usia empat sampai enam tahun mendapatkan alat kelaminnya sebagai daerah yang memberi kenikmatan tersendiri. Setelah itu perasaan seperti ini akan hilang dengan sendirinya”.[73]

Oleh karena itu, Ahlul Bait a.s. mengingatkan para orang tua untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat membangkitkan naluri seks anak di usianya yang dini ini. Cara terbaik untuk menjauhkan anak dari masalah seksual adalah dengan tidak melakukan hubungan intim di hadapannya.

Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata,

قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : والذي نفسي بيده لو أنّ رجلا غشي أمرأته وفي البيت صبي مستيقظ يراهما ويسمع كلامهما ونفسهما ما أفلح أبدا ان كان غلاما كان زانيا أو جارية كانت زانية

Artinya: Rasulullah SAWW bersabda, ”Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika seorang lelaki mengumpuli isterinya sedang di dalam rumah ada anak kecil yang terjaga sehingga melihat mereka atau mendengar nafas mereka, anak tidak akan menjadi orang yang baik di masa mendatang karena kelak ia akan menjadi pezina.” [74]

Imam Shadiq a.s. juga mengatakan,

لايجامع الرجل امرأته ولا جاريته وفي البيت صبي فان ذلك ممّا يورث الزنا

Artinya: Lelaki tidak diperkenankan untuk mengumpuli isteri atau hamba sahayanya jika di situ ada anak kecil karena hal itu dapat mengakibatkan per-zinaannya di masa mendatang. [75]

Anak di usia dini selalu ingin meniru semua yang dilakukan oleh orang tuanya, karena itu, ia ingin melakukan apa yang dilakukan oleh ayahnya.[76] Selain itu, biasanya anak seusia ini lebih menyenangi permainan menjadi pengantin.[77] Dengan demikian, jika anak menyaksikan hubungan intim ayah dan ibunya, tidak mustahil ia akan meniru dan melakukan hal yang sama yang pernah ia saksikan, lalu ia akan terbiasa melakukannya di usianya yang sangat dini.

Sudah menjadi tugas orang tua untuk menghindarkan anak-anaknya dari hal tersebut dan dari perilaku yang mengarah kepada perbuatan tersebut, misalnya ciuman, dan lain-lain. Banyak orang tua yang salah dalam bersikap dengan membicarakan masalah seks di depan anak mereka, karena dengan demikian rasa ingin tahu yang ada pada anak akan bertambah besar.

Orang tua yang baik adalah mereka yang berhati-hati dalam melakukan hubungan intim walaupun anak-anak mereka sedang terlelap dalam tidur karena mungkin saja anak terjaga secara mendadak. Apabila ia terjaga dan menyaksikan adegan itu, ia akan mengalami goncangan jiwa yang akan tersimpan di alam bawah sadarnya. Tugas orang tua adalah memperhatikan tingkah laku anak dan cara bermain mereka khususnya saat mereka berada di tempat yang sepi.

Salah satu cara menjauhkan anak dari rangsangan seks adalah dengan memisahkan tempat tidur mereka. Antara satu anak dan yang lain, hendaknya diberi batas. Selain itu, jangan biarkan mereka tidur dalam satu selimut sehingga badan mereka saling bersentuhan. Banyak riwayat yang menekankan akan penjagaan seperti ini. Dalam hadisnya, Rasulullah SAWW bersabda,

يفرّق بين الصبيان في المضاجع لست سنين

Artinya: Anak-anak hendaknya tidur secara terpisah ketika telah menginjak umur enam tahun. [78]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAWW pernah berkata,

فرّقوا بين أولادكم في المضاجع إذا بلغوا سبع سنين

Artinya: Pisahkanlah tempat tidur anak-anak setelah mereka menginjak usia tujuh tahun. [79]

Pemisahan ini mutlak baik antara anak laki-laki dan anak laki-laki lainnya, antara anak perempuan dan lainnya, ataupun antara anak laki-laki dan anak perempuan. Di zaman ini, setelah menyebarnya film-film bioskop dan video, juga televisi dan media massa lainnya, tugas kita menghindarkan anak dari rangsangan seks terasa lebih berat. Bagi mereka yang hidup di negara-negara yang tidak mengenal Islam dan menyajikan film-film seronok dengan bebas, tugas menjaga anak-anak dari pengaruh buruk kemajuan teknologi dan agar anak-anak tidak menonton film-film seperti itu, lebih berat ketimbang yang lain. Tugas yang lebih berat lagi diemban oleh para orang tua yang hidup di negara yang menganggap bahwa cara terbaik untuk memberikan kebebasan kepada anak untuk mengenal masa depannya adalah dengan menyajikan film-film porno kepada mereka.

Para pakar psikologi mendukung konsep Islam dalam hal ini.

Dr Spock yang berkebangsaan Amerika mengatakan, “Jika orang-orang terdahulu pernah melarang kita dalam hal-hal yang layak untuk dilarang, kemudian larangan yang sama kita kenakan kepada anak-anak kita, semua itu memiliki nilai yang positif. Justru larangan semacam itulah yang akan memberikan kepada anak-anak kebebasan berpikir pada saat mereka menjalani masa-masa belajar. Larangan ini juga yang akan mengosongkan benak si anak dari hal-hak yang tidak signifikan, sambil mendorong mereka berkonsentrasi pada hal-hal yang positif semisal belajar baca tulis dan matematika”.[80]

Karena itu, beliau mengkritik keras perilaku asusila yang terjadi di Amerika, seperti berjemurnya pria dan wanita di pinggir pantai dengan busana ekstra minim.

Kesimpulannya, orang tua berkewajiban, pertama memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan anak-anak mereka mengenai masalah seksual dengan halus dan tidak ceroboh dan kedua menjauhkan mereka dari hal-hal yang dapat merangsang naluri seks mereka yang dapat hadir dengan berbagai cara dan bentuk, khususnya melalui media massa seperti bioskop, televisi, dan video.
9. Mengembangkan Emosi Anak

Emosi dan perasaan merupakan motor terpenting yang menggerakkan manusia untuk berbuat dan berkarya. Emosi dan perasaan ini dimiliki oleh manusia sejak hari-hari pertama kehidupannya, sejak saat ia menyusu lalu berkembang secara bertahap bersamaan dengan bertambahnya usia dan semakin luasnya hubungan sosial yang ia miliki. Perkembangan emosi dan perubahan yang terjadi pada anak dipengaruhi oleh pola pikir yang dimilikinya. Ketika anak meyakini bahwa dengan melakukan suatu pekerjaan tertentu berarti ia telah membuat hati orang tuanya berbahagia dan membuat Allah ridha padanya, secara otomatis ia terdorong untuk melakukannya. Begitu pula sebaliknya. Emosi dapat dibagi ke dalam empat kategori, yaitu pribadi, vertikal, sosial, dan etis.

Emosi pribadi adalah emosi yang berhubungan dengan pribadi manusia, seperti rasa ingin memiliki, cinta kebebasan, ingin unggul di atas orang lain, cinta kedudukan sosial, suka dihormati, dan lainnya. Perasaan dan emosi ini yang menjadikan manusia berbuat segala sesuatu untuk kesenangan pribadinya.

Emosi vertikal adalah perasaan yang membawa orang untuk menyenangi hubungan dengan Zat yang Maha mutlak, yaitu Allah SWT, sumber kemurahan, kenikmatan, belas kasih, dan cinta. Dengan ini orang akan mencintai kebenaran dan kebaikan. Di sini tidak ada lagi ke-akuan.

Emosi sosial adalah perasaan yang mendorong orang untuk berhubungan dengan anggota masyarakat yang lain, dimulai dari orang tua, kakak dan adik, lalu famili secara umum dan selanjutnya, masyarakat dan umat manusia seluruhnya.

Emosi etis adalah perasaaan yang berhubungan dengan apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak, seperti berlaku jujur, meninggalkan dusta, dan hal-hal lain yang bersifat etis.

Cara terbaik untuk mengarahkan emosi dan perasaan anak adalah dengan memberinya kasih sayang dan cinta, juga memenuhi semua kebutuhan lahir dan batinnya. Jika anak merasa bahwa ia telah mendapatkan apa yang diinginkannya, secara otomatis ia akan terikat secara emosi pada sumber cinta dan kasih itu, yang tidak lain adalah orang tuanya sendiri. Anak akan percaya pada mereka berdua dan mengikuti apa yang mereka katakan dan lakukan. Selanjutnya, anak dengan senang hati menerima dan menuruti kata-kata, nasehat dan ajaran mereka. Dengan demikian, orang tua dapat mengontrol emosi dan perasaan anak dan selanjutnya mereka dapat mengarahkannya kepada jalan yang terbaik.

Emosi terpenting yang harus dinomorsatukan pengembangannya adalah emosi vertikal karena dapat mengasah jiwanya untuk mencintai dan akrab dengan Tuhan Mahapencipta. Emosi ini dapat dirasakan anak setelah dia mengetahui bahwa Tuhanlah sumber segala kenikmatan, kasih sayang dan ampunan, dan Dialah yang menciptakan kenikmatan abadi di surga untuk hamba-hamba-Nya yang shalih dan taat.

Tugas orang tua selanjutnya adalah mengarahkan emosi dan perasaan anak kepada Rasulullah SAWW, para nabi dan rasul lainnya, dan Ahlul Bait a.s. Cara terbaik dalam hal ini adalah dengan membawakan cerita dan kisah menarik kehidupan manusia-manusia suci ini kepada anak-anak. Ada dua manfaat yang kita petik dari cara ini, yaitu, pertama memperkuat rasa cinta kepada mereka di hati anak dan kedua membuat anak tertarik untuk mengikuti cara hidup dan teladan yang mereka berikan. Dengan demikian, di dalam lubuk hati anak akan tertanamkan perasaan-perasaan positif seperti cinta akan ketulusan, kemuliaan, keberanian, kedermawanan, pengorbanan, norma-norma mulia, dan kebajikan. Dan sebaliknya, mereka akan membenci apa yang dibenci oleh orang-orang mulia tadi dan membenci kaum yang menentang dan melawan mereka. Semua ini akan menjadi konsep hidup anak sekarang dan di masa mendatang.

Cara lain untuk mengembangkan emosi dan perasaan anak adalah dengan memberikan pengarahan secara kontinyu, sampai anak memahami dengan benar perbedaan antara perbuatan baik dan buruk. Selain itu, mendorong anak untuk meleburkan diri dengan perbuatan-perbuatan yang mulia. Ketika anak meminjamkan mainannya kepada anak lain, tugas orang tua adalah memujinya lalu menggantinya dengan mainan yang lain. Ketika anak melakuan perbuatan terpuji seperti berkata jujur, menghormati orang lain, berlemah lembut terhadap kaum fakir, membantu saudara atau orang tua dalam melakukan sesuatu, hendaknya anak tersebut dipuji di depan dirinya sendiri, keluarga, famili dan teman-temannya.

Sikap orang tua memperlakukan anak layaknya seorang teman akan membuat ia leluasa dalam mengutarakan isi hatinya. Hal ini sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan mental anak dan menghilangkan emosi dan perasaan yang tidak baik.

Penelitian para ahli menyatakan bahwa bercerita adalah cara terbaik dalam mendidik emosi dan perasaan anak, khususnya jika cerita itu disampaikan dengan gaya bahasa yang diminati dan dimengerti olehnya. Karena itu, kita bisa saja bercerita tentang petualangan seekor burung atau binatang yang berbudi luhur.

Dengan mendengar cerita ini, emosi anak akan tergugah untuk mencintai kebaikan, keadilan, kebersamaan, pengorbanan, dan nilai-nilai luhur insani lainnya. Cinta kepada kaum tertindas dan kebencian terhadap kaum penindas dan zalim akan tumbuh subur di lubuk hatinya. Cerita-cerita tentang burung dan binatang sangat menarik bagi anak-anak seusia ini. Mereka akan dengan setia duduk mendengar dan merasakan seolah-olah hal itu benar-benar terjadi. Banyak hal yang bisa menjadi bahan cerita dan semua itu bergantung kepada imajinasi orang tua dalam mengolah sebuah dongeng yang dapat menggugah perasaan dan emosi anak mereka.
10. Memperhatikan Anak Yatim

Akibat kematian ayah atau ibunya, atau bahkan kedua-duanya, anak merasakan sebuah kekosongan besar dalam hidupnya. Ia merasakan kekosongan dunia dari orang yang memberinya curahan cinta dan kasih sayang dan yang memenuhi semua keperluan hidupnya, seperti makan, minum, pakaian, dan lain. Anak yatim selalu dihantui oleh perasaan cemas dan ketakutan. Kegelisahan selalu datang menggerogoti ketenangan batinnya. Perasaan tidak lagi mendapatkan kasih sayang dapat berakibat buruk pada perkembangan mentalnya.

Realitas yang ada di tengah masyarakat menunjukkan bahwa mayoritas anak yatim yang tidak mendapat perhatian yang semestinya dari orang lain memiliki kepribadian yang labil dan sulit beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Karena itu, Islam sangat menekankan pentingnya memperhatikan anak yatim secara khusus, lebih dari penekanannya untuk memperhatikan anak kandung kita sendiri. Islam memerintahkan kita untuk berusaha sebisa mungkin memenuhi semua kebutuhan materi dan jiwanya. Bahkan, jumlah ayat suci Al-Qur’an yang secara khusus membicarakan masalah anak yatim ini lebih banyak dari jumlah ayat yang membahas tentang anak kecil secara umum.

Kebutuhan pertama yang harus diperhatikan adalah kebutuhan materinya. Allah SWT berfirman,

ويطعمون الطعام على حبّه مسكينا ويتيما وأسيرا ...

Artinya: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. [81]

... أو اطعام في يوم ذي مسغبة يتيما ذا مقربة

Artinya: …Atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. [82]

... وآتى المال على حبّه ذوي القربى واليتامى والمساكين ...

Artinya: …Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin.... [83]

Islam telah menentukan bagian tersendiri untuk anak-anak yatim dari harta kaum muslimin. Allah SWT berfirman,

واعلموا أنّما غنمتم من شيء فأن لله خمسه وللرسول ولذي القربى واليتامى والمساكين ...

Artinya: Ketahuilah, apapun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin.... [84]

…قل ما أنفقتم من خير فللوالدين والأقربين واليتامى والمساكين ...

Artinya: …Jawablah, “Apapun harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin ....” [85]

Allah SWT melarang kaum muslimin untuk menggunakan harta anak yatim kecuali jika bermanfaat untuknya. Allah berfirman,

ولا تقربوا مال اليتيم إلاّ بالّتي هي أحسن حتى يبلغ أشده

Artinya : Janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang bermanfaat sampai ia dewasa. [86]

Rasulullah SAWW bersabda,

من عال يتيما حتى يستغنى أوجب الله له بذلك الجنة

Artinya: Orang yang memenuhi semua kebutuhan anak yatim pasti akan Allah masukkan ke dalam surga. [87]

Sabda beliau lainnya adalah sebagai berikut.

من كفل يتيما من المسلمين فأدخله إلى طعامه وشرابه أدخله الله الجنة البتة إلا ان يعمل ذنيا لا يغفر

Artinya: Orang yang memelihara anak yatim dengan memberinya bagian dari makanan dan minumannya, pasti akan dimasukkan Allah ke dalam surga kecuali jika ia melakukan dosa yang tidak dapat diampuni lagi (seperti syirik--pen.). [88]

أنا وكافل اليتيم في الجنة كهاتين - وهو يشير باصبعيه -

Artinya: Kedudukanku di surga dengan orang yang memelihara anak yatim seperti ini (sambil menunjukkan dua jari suci beliau). [89]

Selain kebutuhan materi anak yatim yang harus menjadi perhatian kaum muslimin secara umum, Islam juga menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan jiwanya, seperti berbuat dan bersikap adil kepadanya. Allah SWT berfirman,

وإذ أخذنا ميثاق بني إسرائيل لا تعبدون إلا الله وبالوالدين إحسانا وذي القربى واليتامى والمساكين ...

Artinya: (Ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu) janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin ....[90]

Di ayat lain, Allah SWT berfirman,

…وان تقوموا لليتامى بالقسط

Artinya: (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. [91]

Rasulullah SAWW bersabda,

خير بيت من المسلمين بيت فيه يتيم يحسن إليه , وشرّ بيت من المسلمين بيت فيه يتيم يساء إليه

Artinya: Rumah yang terbaik adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang dihormati dan diperlakukan dengan baik. Rumah yang terburuk adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diza-limi dan diperlakukan dengan buruk. [92]

Di dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAWW berpesan untuk menghormati anak yatim, memuliakannya, dan berlemah-lembut kepadanya. Beliau bersabda,

حثّ الله تعالى على برّ اليتامى لانقطاعهم عن آبائهم , فمن صانهم صانه الله تعالى , ومن أكرمهم أكرمه الله تعالى , ومن مسح يده برأس يتيم رفقا به جعل الله تعالى له في الجنة بكل شعرة مرّت تحت يده قصرا أوسع من الدنيا وما فيها...

Artinya: Allah SWT menganjurkan kepada kalian semua untuk menghormati anak yatim karena mereka tidak lagi mempunyai ayah. Orang yang menjaga mereka akan dijaga Allah. Orang yang memuliakan mereka akan dimuliakan Allah. Orang yang mengusap kepala anak yatim karena rasa sayang kepadanya, akan diganjar Allah dengan istana yang lebih luas dari dunia seisinya sebanyak rambut yang dilewati oleh sapuan tangannya. [93]

Imam Ja’far Shadiq a.s. mendorong kita untuk memperlakukan anak yatim dengan penuh kecintaan dan kasih sayang. Beliau berkata,

ما من عبد يمسح يده على رأس يتيم ترحّما له إلاّ أعطاه الله تعالى بكل شعرة نورا يوم القيامة

Artinya: Orang yang mengusapkan tangannya di kepala anak yatim karena rasa sayang kepadanya, maka kelak di hari kiamat, akan diberi Allah cahaya sebanyak rambut yang dilalui oleh sapuan tangannya.[94]

Salah satu perwujudan dari cinta perhatian kepada anak yatim adalah dengan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, yang membuat hatinya gelisah dan tersiksa. Rasulullah SAWW bersabda,

إذا بكى اليتيم اهتزّ العرش على بكائه فيقول الله تعالى : يا ملائكتي اشهدوا عليّ أن من أسكته واسترضاه أرضيته في يوم القيامة

Artinya: Jika anak yatim menangis ‘arsy Ilahi akan tergoncang dan Allah akan berfirman kepada para malaikat-Nya, “Wahai para malaikat-Ku saksikanlah! Orang yang membuatnya diam dan menjadikan hatinya senang akan Aku senangkan hatinya di hari kiamat.” [95]

Beliau juga bersabda,

إذا بكى اليتيم يقول الله من أبكى عبدي وأنا غيّبت أباه في التراب فوعزّتي وجلالي ان من أرضاه بشطر كلمة أدخلته الجنة

Artinya: Jika anak yatim menangis, Allah akan berfirman, “Siapa gerangan yang membuat hamba-Ku ini menangis sedang Aku telah menyimpan ayahnya di dalam tanah? Demi keagungan dan kebesaran-Ku, orang yang membuatnya senang meskipun hanya dengan sepenggal kata akan Aku masukkan ke dalam surga.” [96]

Rasulullah SAWW dalam hadisnya bersabda,

إن في الجنة دارا يقال لها دار الفرح لايدخلها إلا من فرّح يتامى المؤمنين

Artinya: Di surga terdapat satu gedung yang disebut dengan nama Dar Al-Farah (Rumah Kebahagiaan). Yang berhak masuk ke dalamnya hanyalah orang yang membahagiakan anak yatim. [97]

Salah satu wujud dari perhatian terhadap anak yatim adalah dengan mendidiknya dengan baik dan benar dan mencetaknya menjadi orang yang berguna bagi masyarakatnya di masa yang akan datang.

Imam Amirul Mukminin Ali a.s. berkata,

ادّب اليتيم بما تؤدّب منه ولدك ...

Artinya: Didiklah anak yatim seperti engkau mendidik anakmu sendiri....[98]

Anak yatim yang mendapat perhatian dan kasih sayang yang semestinya akan merasa bahagia dan hidup dengan penuh rasa optimis. Namun bila ia tidak mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan, anak tersebut akan hidup dengan mental yang labil dan hal itu menjadi lebih parah jika ia jatuh ke pangkuan orang yang tidak benar yang mendidiknya secara salah dan membentuknya menjadi pribadi yang merugikan masyarakat.

[1]Qamus Al-Thifl Al-Thibbi:294

[2]Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih 1:182, hadis ke-3

[3]Dr. Ali Mansur, ‘Ilm Al-Nafs Al-Tarbawi 2:132

[4]Masyakil Al-Abaa’ fi Tarbiah Al-Abnaa’ :248

[5]Ibid:251.

[6]Kanz Al-‘Ummal 16:456, hadis ke-45

[7]Tuhaf Al’Uqul:368.

[8]Tarikh Ya’qubi 2:320.

[9] Qamus Al-Thifl Al-Thibbi:328

[10]Abdul Aziz Al-Qaushi, ‘Ilm Al-Nafs :264

[11]Dr. Fakhir Aqil, ‘Ilm Al-Nafs Al-Tarbawi:100-101

[12]Mustadrak Al-Wasail 2:618

[13]Ibid : 626

[14]‘Uddah Al-Da’i:61

[15]Al-Kafi 6:50, hadis ke-6

[16]‘Ilm Al-Ijtima’ :252

[17]Al-Tarbiah wa Bina’ Al-Ajyal:167

[18]‘Ilm Al-Nasf Al-Tarbawi:111

[19]Mustadrak Al-Wasail 2:625

[20]Ibid:626

[21]Ibid.

[22]Makarim Al-Akhlaq:219

[23]Al-Kafi 6:50, hadis ke-6

[24]Makarim Al-Akhlaq:220

[25]‘Uddah Al-Da’i : 79

[26]Tuhaf Al-‘Uqul : 267

[27]Ibnu Mandzur, Mukhtashar Tarikh Dimasyq 7:14

[28]Mustadrak Al-Wasail 2:69

[29]Tuhaf Al-‘Uqul:337.

[30]Qamus Al-Thifl Al-Thibbi:328

[31]Masyakil Al-Abaa’:141

[32]Tarikh Al-Ya’qubi 2:320

[33]Bihar Al-Anwar 23:114

[34]Al-Thifl Bain Al-Wiratsah wa Al-Tarbiah 2:180 dinukil dari

kitab Nahnu wa Al-Abna’ : 39

[35]‘Ilm Al-Nafs Al-Tarbawi :535

[36]Tuhaf Al-’Uqul : 84

[37]Bihar Al-Anwar 79:102

[38]Masyakil Al-Aabaa’:75

[39]Qamus Al-Thifl Al-Thibbi:278

[40]Adhwa’ ‘ala Al-Nafs Al-Basyariyyah :302

[41]Makarim Al-Akhlaq:220

[42]Makarim Al-Akhlaq:221

[43]Kanz Al-‘Ummal 16:445, hadis ke-45350

[44]Ibid:444, hadis ke-45346

[45]Ibid, hadis ke-45347

[46]Makarim Al-Akhlaq:221

[47]Mustadrak Al-Wasail 12:626

[48]Bihar Al-Anwar 43:261

[49]Ibid:275

[50]Ibid:284

[51]Hadits ila Al-Ummahat:68

[52]Qamus Al-Thifl Al-Thibbi:274

[53]Makarim Al-Akhlaq:221

[54]Qamus Al-Thifl Al-Thibbi:221-222

[55]Al-‘Ilaj Al-Jama’i li Al-Athfal:162

[56]Ibid:222

[57]Ibid.

[58]Ibid:223

[59]Masyakil Al-Aabaa’:106

[60]Al-Thifl bain Al-Wiratsah wa Al-Tarbiah 2:64 dinukil dari

kitab Nahnu wa Al-Abna’ :56

[61]Bihar Al-Anwar 103:189

[62]Al-Kafi 1:311, hadis ke-15

[63]Bihar Al-Anwar 43:296

[64]Mukhtashar Tarikh Dimasyq 7:10

[65] Qamus Al-Thifl Al-Thibbi:222

[66] Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih 3:312, hadis ke-21

[67] Al-Thifl bain Al-Wiratsah wa Al-Tarbiah 2:97

[68] Qamus Al-Thifl Al-Thibii:317

[69] ‘Ilm Al-Nafs Ususuhu wa Tathbiqatuhu Al-Tarbawiyyah:239

[70] ‘Ilm Al-Nafs Al-‘Ilaji:152

[71]Masyakil Al-Aabaa’:282

[72] Ibid:283

[73]‘Ilm Al-Nafs Al-‘Ilaj:106

[74] Wasail Al-Syi’ah 20:133 hadis ke-2

[75] Ibid:134, hadis ke-7

[76]Al-Tarbiah wa Bina’ Al-Ajyal:166

[77] Masyakil Al-Aabaa’ :205

[78] Makarim Al-Akhlaq:223

[79] Ibid.

[80] Masyakil Al-Aabaa’ hal: 284.

[81] Q.S. Al-Insan: 8.

[82] Q.S. Al-Balad: 14 -15.

[83] Q.S. Al-Baqarah: 177.

[84] Q.S. Al-Anfal: 41.

[85]Q.S. Al-Baqarah: 215.

[86]Q.S. Al-An’am: 152.

[87]Tuhaf Al-‘Uqul:198

[88]Mustadrak Al-Wasail 1:148

[89]Al-Mahajjah Al-Baidha 3:403

[90]Q.S. Al-Baqarah: 83.

[91]Q.S. Al-Nisa’ : 127.

[92]Al-Mahajjah Al-Baidha’ 3:403

[93]Ibid.

[94] Ibid.

[95] Mustadrak Al-Wasail 2:623

[96]Ibid

[97] Kanz Al-‘Ummal 3:170, hadis ke-6008

[98] Al-Kafi 6:47 hadis ke-8

Tidak ada komentar: